Menyimak Demokrasi Kita

Salah satu batasan pengertian “demokrasi” adalah, suatu system penyelenggaraan kekuasaan negara yang dilakukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Indonesia bisa saja telah disebut sebagai suatu negara “demokrasi”, dengan salah satu kriteria karena presidennya dipilih lansung oleh rakyat, pemilihan-demi pemilihan untuk menduduki jabatan publik telah melibatkan partisipasi rakyat banyak atau semua pihak yang ada dalam suatu komunitas baik di dalam institusi-institusi maupun dalam suatu lembaga negara. Namun kenapa negara Indonesia yang telah dikatakan sebagai negara demokrasi ternyata hasilnya selalu menjadi masalah, dimana demokrasi nasional yang telah dijalankan dengan harga yang sangat mahal, dimana untuk biaya Pemilu tahun 2009, KPU mengusulkan 2 x lipat dari biaya Pemilu tahun 2004, hingga mencapai Rp. 4,79 triliun. begitu juga untuk biaya Pilpres 2014 yang lalu Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan untuk pemilu presiden, KPU menggelontorkan anggaran sebesar Rp 7,9 triliun untuk dua putaran. Dana itu diperinci menjadi Rp 4 triliun untuk putaran pertama dan Rp 3,9 triliun untuk putaran kedua. Sekalipun biaya tersebut disetujui, telah diyakini banyak pihak hasil Pilpres 2009 dan Pilpres 2014 tetap saja menghasilkan para pemimpin yang dinilai kurang berkualitas, dimana sebagian besar kinerjanya tetap saja tidak bisa memuaskan rakyat banyak. Lantas apanya yang salah dengan proses demokrasi yang telah dijalankan di Indonesia selama ini ?.

Kalau dilihat dari sisi pemahaman rakyat banyak peristiwa demokrasi adalah sebuah pesta rakyat, ikutan pemilihan umum atau ikutan Pimilukada atau Pilkades, di sana ikut nyoblos gambar atau simbol yang telah disosialisasikan oleh panitia Pemilu/Pemilukada, kemudian rakyat kecipratan rejeki dari team sukses yang mendatanginya dengan memenuhi permintaan untuk mengajak dirinya dan koleganya untuk mencoblos gambar atau lambang tertentu. Tidak lebih dari itu. Sehingga tidak mengherankan jika Pemilu Indonesia hanya bersifat ritual politis atau ceremonial democratie, namun proyek itu harus dijalankan karena undang-undang mengharuskannya. Dari fakta ini menunjukkan sungguh dangkal pemahaman bangsa ini dalam melaksanakan sebuah negara yang demokratis. Sehingga tidak heran ada sementara pihak yang menilai “demokrasi” yang dijalankan Indonesia selama ini telah menghasilkan fakta kehidupan rakyat yang lebih buruk dari fakta kehidupan rakyat semasa rezim “orde baru” pada masa pemerintahan Soeharto.

Secara definisi konsep, “demokrasi” dapat diartikan, adalah suatu proses penyelenggaraan system kekuasaan negara yang dilakukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang secara definisi operasi, “demokrasi” dapat diukur dari :

1. Bagaimana sikap dan prilaku rakyat dalam menjalankan Pemilu dengan baik;
2. Bagaimana rakyat atau para wakil rakyat bermusyawarah atau bertukar-pikiran dengan baik guna merumuskan suatu keputusan politik ;
3. Bagaimana bangsa ini atau para wakil rakyat (DPR) dapat mengatasi perbedaannya dengan baik tanpa harus harus menghujat pribadi sesamanya atau bagaimana sikap dan prilaku wakil rakyat dalam bermusyawarah dan menyampaikan pendapat dengan baik, santun dan beretika;
4. Bagaimana hak-hak wakil rakyat (DPR) seperti hak interplasi, hak budget, hak inisiatif dan hak-hak lain dapat digunakan dan berjalan dengan baik dan tepat;
5. Bagaimana rakyat dan wakil rakyat mensikapi perbedaan yang ada, apakah orang yang berbeda pendapat dianggap musuh yang harus dibungkam dan dilenyapkan;
6. Masihkan konsep “bhineka tunggal ika” benar-benar dipakai jadi budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
7. Apakah nasionalisme sebagian besar rakyat dan generasi muda masih mengakar pada penghormatan sejarah pergerakan perjuangan kemerdekaan negara Indonesia; sehingga dari beberapa indikator tersebut jika benar-benar telah kondusif, tentu “tidak ada lagi” terjadi anarkisme, tirani mayoritas terhadap minoritas, komplik horizontal yang bersumber dari ikatan primordialisme sempit yang tanpa disadari turut terbawa-bawa saat dijalankannya demokrasi itu. Keseluruhan itu adalah merupakan variabel untuk mengukur apakah negara kita ini benar-benar sebuah negara demokrasi sejati.

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebelum memberikan kontribusinya dalam system kekuasaan negara yang dalam hal ini dijalankan oleh suatu pemerintahan, disyaratkan pula harus memiliki pemahaman dan menyadari terhadap 4 (empat) hal, yaitu :

1). Rakyat (kita semua) adalah mahluk ciptaan Tuhan, sehingga harus terjalin hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, sehingga apapun yang kita lakukan harus bertanggungjawab kepada Nya. ;

2). Bahwa rakyat (kita semua) adalah mahluk sosial, artinya konstribusi yang kita berikan dalam Pemilu tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dan harus memikirkan nasib orang banyak.;

3). Rakyat (kita semua) harus sadar bahwa kita adalah warga dari suatu bangsa dan negara, yang oleh karenanya harus bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara.Indonesia ; dan

4). Bahwa rakyat (kita) semua harus sadar bahwa kita adalah warga dari komunitas dunia, yang memiliki tanggungjawab sesama umat sebagai penghuni dunia apalagi dalam menyelamatkan iklim global yang mengancam keselamatan dunia.

Pemahaman rakyat dari 4 (empat) hal di atas diharapkan melahirkan seleksifitas rakyat yang tinggi, dimana rakyat tidak sembarangan lagi memilih seorang pemimpin, baik Kepala Desa, Bupati, Gubernur, Presiden, para anggota DPR/MPR/DPD atau memilih seorang Pejabat apapun yang tidak berkualitas.

Tegasnya rakyat sebagai peserta Pemilu harus mengenal betul karakteristik dan kapabelitas calon Pemimpin mulai dari tingkat Kepala Desa, Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden dan Wakilnya, dan para Wakil Rakyat (DPR-RI / DPRD) yang akan dipilihnya.
Rakyat harus mengenal betul kemampuan calon wakil rakyat dan calon pemimpin yang akan dipilihnya, syukur mengenal betul kehidupan moralitas para calon wakil rakyat dan calon pemimpinnya.

Oleh karena itu dalam menjalankan pesta demokrasi Panitia Pemilu (KPU atau KPUD) harus dapat mensosialisasikan kelebihan dan kekurangan para calon Pemimpin rakyat yang akan dipilih oleh rakyat. KPU atau KPUD bersama seluruh LSM yang ada harus mendidik rakyat agar tidak termakan dengan segala macam iming-iming dan propakanda yang tidak realisitis.

Rakyat harus kebal terhadap segala macam iming-iming atau janji yang menguntungkan diri sendiri, dan demi menghormati kepentingan bangsa dan negara, rakyat tidak lagi bersedia menerima uang, fasilitas dan segala macam pemberian yang membuat dia tidak bisa berpikir jernih dalam menentukan pilihannya.

Rakyat dituntut harus lebih banyak mendengar dan melihat fakta apa saja yang telah terjadi di negara ini yang membuat bangsa Indonesia ini terpuruk di segala bidang. Apakah itu terpuruk dalam bidang ekonomi, moralitas yang rendah, penegakan hukum yang rusak, indisipliner berlalu lintas, kerusakan lingkungan yang parah, bencana demi bencana yang terjadi setiap hari sebagai akibat sikap dan prilaku bangsa dan salah urusnya pemerintahan dan negara Indonesia ini.

Atas dasar pemahaman semacam inilah diharapkan rakyat akan mempu membangun sikap demokratis dan prilaku demokratis yang baik yang benar-benar dapat memberikan kontribusi positip bagi pembangunan bangsa dan negara Indonesia ke depan.
Dari prilaku demokratis inilah tentu diharapkan tidak akan ada lagi kita temui segala bentuk demonstrasi-demonstrasi atau yel-yel dalam rangka menyampaikan tuntutannya yang diiringi dengan adanya pengrusakan atau anarkisme, yang mencerminkan masyarakat Indonesia berwatak/bermental bar-barian yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara Demokratis yang Pancasilais.

Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM

Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia