Dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Namun khusus untuk putusan bebas yang telah diputuskan oleh Pengadilan negeri dan Pengadilan Tinggi (Judexfactie) sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP, yang berbunyi “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”
Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Ketentuan hukumnya sudah sangat jelas bahwa di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.
Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”. Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. ”.
Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak kuat atau tidak dapat dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP. Oleh karenanya setiap upaya kasasi Jaksa terhadap putusan bebas adalah Melanggar Hukum.
Begitu juga upaya Jaksa melakukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung yang sudah final (inkracht va gewijsde) yang bertujuan akan memberi pengaruh terhadap status hukum diri terdakwa/terpidana, adalah Melanggar Hukum. Karena di dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa, “ terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” Pasal ini tidak menyebutkan ada kata “Jaksa”, sehingga secara a contrario hanya terpidana yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali.
Dalam ilmu hukum pidana ada disebut PK yang dilakukan oleh Jaksa, namun dalam hal ini Jaksa hanya dibenarkan mengajukan PK jika itu dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dan putusan PK tersebut tidak boleh ada pengaruhnya terhadap diri terpidana. Dan secara prinsip hukum pidana, upaya hukum, dalam hal ini berupa pembelaan hukum yang terkahir itu hanya diberikan kepada terdakwa atau terpidana bukan kepada Jaksa. (vide, pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP).
Kalau Jaksa diberikan hak untuk melakukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali/PK yang dapat berpengaruh terhadap status hukum terpidana, maka di negeri ini tidak ada lagi kepastian hukum. Oleh karenanya PK yang dilakukan oleh Jaksa terhadap putusan Mahkamah Agung yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum tersebut jelas telah melanggar HAM, khususnya pasal 3 ayat (2) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan , jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum yang sama di depan hukum”. Agaknya pola penegakan hukum semacam ini, telah menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini…!!
Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia