Putusan Serta Merta, dari Hukum dan Keadilan

Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum Banding, Kasasi atau Perlawanan oleh pihak Tergugat atau oleh pihak Ketiga yang dirugikan.

Kita tahu bahwa peradilan di negeri ini dibagi menjadi dua tingkat peradilan yaitu Pengadilan Negeri ( pengadilan tingkat Pertama) dan Pengadilan Tinggi ( pengadilan tingkat Kedua ) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan Judex Factie, atau peradilan yang memeriksa pokok perkara. Adapun Mahkamah Agung tidak disebut Pengadilan Tingkat Ketiga, karena Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak memeriksa pokok perkara, melainkan sebagai pemeriksa dalam penerapan hukumnya saja.

Putusan uitvoerbaar bij voorrrad tersebut dapat dijatuhkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan/atau pengadilan tingkat kedua. Dari segi hukum acara perdata putusan tersebut memang dibolehkan walaupun menurut pengamatan dan penelitian Mahkamah Agung RI pelaksanaan dari adanya penjatuhan putusan serta merta tersebut sering meninmbulkan berbagai masalah. Oleh karenanya Mahkamah Agung RI mengeluarkan berbagai Surat Edaran yang mengatur tentang tata cara dan prosedur penjatuhan serta pelaksanaan putusan tersebut.

Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun 2000 Mahkamah Agung telah menetapkan tata cara, prosedur dan gugatan-gugatan yang bisa diputus dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2001 mahkamah Agung kembali menetapkan agar dalam setiap pelaksanaan putusan serta merta disyaratkan adanya jaminan yang nilainya sama dengan barang / benda objek eksekusi.

Dari sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui” adanya putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara tersebut memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIRdan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta.

Bahwa selain pelaksaan putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang Tereksekusi ternyata diputus menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua Pengadilan bersangkutan harus super hati-hati dalam mengabulkan gugatan provisionil dan permintaan putusan serta-merta.

Adapun dapat dikabulkannya uitvoerbaar bij voorraad dan provisionil menurut Surat Ederan Ketua Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 adalah :
1). Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik/tulis tangan yang tidak dibantah kebenarannya oleh pihak Lawan ;
2) Gugatan hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah ;
3). Gugatan tentang sewa-menyewa tanah,rumah,gudang dll, dimana hubungan sewa-menyewa telah habis atau Penyewa melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang baik ;
4). Pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini dan putusannya telah inkracht van gewijsde;
5) Dikabulkannya gugatan provisionil dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv ; dan
6) Pokok sengketa mengenai bezitsrecht ;

Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan uitvoerbaar bij voorraad sepanjang hal itu memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini Hakim masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta tersebut.

Guna memproteksi hal-hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang Tereksekusi ternyata dikemudian hari menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.4 tahun 2001 tentang Putusan Serta-Merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta-merta dapat dijalankan pihak Pemohon Eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain. Apalagi kalau yang akan dieksekusi itu sebuah bangunan yang mempunyai nilai sejarah yang mana bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak Pemohon Eksekusi bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang akan digantikan dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya.

Masalahnya menjadi lain jika di kemudian hari pihak Tereksekusi ternyata diputus menang sehingga jelas pihak Tergugat/Termohon telah diperlakukan tidak adil.

Selama upaya hukum berjalan Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Ketua Pengadilan Tinggi harus dapat menjamin bahwa bangunan yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti semula tanpa mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi Pihak Ter-eksekusi tidak ada lagi ( Inkracht Van Gewijsde ). Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan ancaman yang keras kepada Pejabat Pengadilan yang bersangkutan yang ditemukan menyimpang dalam melaksanakan putusan serta-merta sebagaimana ditegaskannya dalam butir ke-9 SEMA No.3 tahun 2000 tentang Putusan Serta-Merta dan Provionil.

Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM

Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia