Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP telah menempatkan pentingnya kedudukan saksi sebagai alat bukti yang utama dalam perkara pidana, oleh karena keutamaan peranan saksi di dalam perkara pidana sangat wajar kedudukan saksi dan korban haruslah dilindungi. Dengan lahirnya UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dibentuknya pula Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah jelas dimaksudkan untuk itu.
Selama ini banyak kasus kejahatan tidak pernah tersentuh proses hukum untuk disidangkan karena tidak ada satupun saksi maupun korban yang berani mengungkapkannya, sementara bukti lain yang didapat penyidik amatlah kurang memadai. Ancaman penganiayaan, penculikan korban, saksi atau anggota keluarganya hingga pembunuhan menjadi alasan utama yang membuat nyali mereka menciut untuk terlibat dalam memberikan kesaksian.
Dalam praktik memang tidak sedikit ancaman atau intimidasi yang diterima korban, atau saksi atau keluarganya baik dalam ancaman bentuk fisik, maupun psikis. Bahkan tidak jarang pula para saksi yang mencoba berani akan memberikan keterangan di persidangan terancam dihilangkan nyawanya oleh pelaku atau suruhannya.
Kondisi ini tentu akan memicu ketakutan luar biasa baik bagi saksi korban maupun bagi saksi lainnya, akibatnya penyidik seringkali kesulitan untuk mengungkap kejahatan yang terjadi untuk meneruskan proses hukumnya sampai ke Pengadilan.
Saat ini sekalipun LPSK telah ada, namun dalam praktiknya tidaklah mudah. Memasukkan saksi atau saksi korban ke dalam program perlindungan saksi sangat banyak kendalanya, hal ini dikarenakan masalah kesulitan kesediaan dari saksi atau dari saksi korban untuk masuk ikut program perlindungan saksi dari LPSK. Ketika seorang saksi atau korban menyatakan diri ikut masuk program perlindungan, ia harus sepakat tentang persyaratan standard yang telah ditentapkan oleh Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam upaya perlindungan saksi LPSK tersebut, saksi/korban harus bersedia memutuskan hubungan dengan setiap orang yang dikenalnya jika keadaan menghendaki. Hal ini sejalan dengan maksud di dalam pasal 30 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2006, dimana saksi atau korban yang berada dalam program perlindungan akan dipindahkan ke tempat persembunyian yang benar-benar aman dan akan memutuskan hubungan dengan siapapun sehingga tidak ada orang lain yang mengenalnya, meskipun keluarga inti (suami, isteri dan anaknya) dimungkinkan diikutsertakan dalam persembunyian. Pemutusan hubungan dengan orang lain, sangat dimungkinkan bahkan termasuk memberikan saksi/korban beserta keluarganya mendapat kehidupan baru dengan mengubah indentitas dan tempat tinggal yang baru setelah mereka bersaksi di persidangan.
Pemberian indentitas baru ini dimaksudkan agar pelaku kehilangan jejak untuk tidak dapat mencelakakan saksi atau saksi korban pada saat / waktu pelaku bebas dari hukuman penjara. Mengingat resiko atau konsekuensi yang lumayan besar, maka sekalipun seorang saksi atau saksi korban telah menyatakan bersedia masuk program perlindungan saksi, belum tentu setiap saksi atau saksi korban bersedia untuk mengorbankan kehidupan yang sebesar itu, sehingga UU No.13 tahun 2006 dan lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam praktiknya akan mendapatkan kesulitan bahkan dilema dari para saksi dan/atau saksi korban itu sendiri yang membuat LPSK kurang dapat menjalankan program perlindungan saksi sesuai dengan maksud dan tujuan UU No.13 Tahun 2006 tersebut. Belum lagi hambatan yang datang dari kurangnya anggaran/dana perlindungan saksi yang tersedia, serta Sumber Daya Manusia yang ada di LPSK yang karena lembaga tersebut masih baru tentu ”belum profesional” dalam menangani perlindungan saksi. Masalah lain yang mungkin dihadapi oleh LPSK adalah menyangkut tekanan psikologis yang dirasakan saksi/korban yang ada dalam perlindungannya sebagai akibat diputusnya hubungan saksi dengan pihak lain, termasuk keluarga. Dan masih banyak lagi potensi yang menjadi kendala bagi LPSK.
Oleh karena itu saran penulis, diharapkan pemerintah melakukan antisipasi dan kajian mendalam terhadap indikator-indikator yang dapat menghambat dijalankannya program perlindungan saksi tersebut, serta segera melakukan langkah-langkah preventif sebelum LPSK benar-benar mendapatkan kendala serius dalam melaksanakan tugasnya. Karena peraturan yang terkait baru sebatas tentang masalah pengaturan pemberian restitusi, konpensasi, dan ganti-rugi bagi saksi atau korban, yaitu PP No.44 Tahun 2008, maka diharapkan pula pihak Pemerintah segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan teknis (Juklak atau Juknis) dari UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyangkut tentang bagaimana teknis pelaksanaan perlindungan saksi dan tata panduan pelaksanaan tugas agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat menjalankan tugasnya dengan lebih memadai. Semoga.. !!
Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia