Di dalam praktiknya antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim yang sedang berkuasa disetiap negara punya “Politik Hukum” sendiri-sendiri dalam melaksana konsep pembangunan dan tujuan dari pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknya yang menyangkut kepentingan Publik, bangsa dan Negara baik di dalam Negeri maupun di luar Negeri.
Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Rezim Pemerintahan, yang diikuti dengan adanya pergantian para Menteri, maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut berganti. Konsekuensinya setiap kebijakan politik yang akan diambil harus memerlukan dukungan berupa payung hukum yang nota-bine merupakan politik hukum dari kekuasaan rezim yang sedang berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep dan strategi politik pembangunan yang dijalankannya. Strategi politik dalam memperjuangkan politik hukum tersebut tentunya harus dijalankan dengan mengindahkan etika dan moral politik.
Adapun “Etika Politik” harus dipahami dalam konteks “etika dan moral secara umum”. Bicara tentang “etika dan moral” setidaknya terdiri dari tiga hal, yaitu:
Pertama, etika dan moral Individual yang lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip integrasi pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi yang bermoral.
Kedua, etika moral sosial yang mengacu pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial.
Ketiga, etika Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Hukum yang keberadaannya merupakan produk dari “keputusan politik” dari politik hukum sebuah rezim yang sedang berkuasa, sehingga tidak bisa dihindarkan dalam proses penegakan hukum secara implisit ‘campur tangan rezim yang berkuasa’ pasti ada. Apalagi system Pemerintahan Indonesia dalam konteks “Trias Politica” penerapannya tidaklah murni, dimana antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif keberadaannya tidak berdiri sendiri. Indonesia menjalankan konsep trias politica dalam bentuk “Sparation of Power” (pemisahan kekuasaan), bukan “Division of Power” (pembagian kekuasaan).
Dimana tanpak di dalam proses pembuatan undang-undang peran pemerintah begitu dominan menentukan diberlakukannya hukum dan undang-undang di negeri ini.
Kenyataan ini sebenarnya dapat menimbulkan ketidak puasan rakyat dalam proses penegakan hukum di Indonesia apa lagi di sisi lain para politikus di negeri ini kurang memahami dan menghormati “etika politik” saat mereka menjalankan proses demokrasi yang selalu cenderung melanggar hukum dan aturan main yang mereka sepakati sendiri, sehingga tidak berlebihan banyak yang mempertanyakan moral politik dari para politikus bangsa ini. Ekses dari ketidakpuasan rakyat di dalam praktik demokrasi dan penegakan hukum yang terjadi selama ini telah memunculkan fenomena distrust dan disintegrasibangsa yang pada gilirannya mengancam keutuhan NKRI. Tidaklah heran sejak tahun 2001, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dimana lahirnya TAP ini, dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa, bernegara, dan beragama. Munculnya kekahwatiran para wakil rakyat di MPR tersebut terungkap sejak terjadinya krisis multidimensi yang memunculkan ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa, dan terjadinya kemunduran pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.
Jadi etika politik pada gilirannya punya kontribusi yang kuat bagi baik-tidaknya proses penegakan hukum di negeri ini, apalagi moral para Penegak Hukum yang sudah terlanjur bobrok, maka tidak dapat dipungkiri lengkaplah sudah runyamnya penegakan hukum di negeri tercinta Indonesia.
Maka sebelum terlanjur parah dan tidak tertolong lagi, mau tidak mau kita semua harus segera membangun moral bangsa ini, beri rakyat contoh dan suri teladan yang baik dari para Penguasa, para Politikus, para Tokoh Masyarakat dan Agama, bangun system pendidikan dengan mengedepankan pendidikan akhlak dan kepribadian jadi hal yang juga turut menentukan lulus tidaknya para Siswa dan Mahasiswa.
Tanpa budaya etika dan moral yang dimiliki generasi penerus pada gilirannya Indonesia pasti akan hancur juga. Jangan sampai rakyat kita yang hidup di dalam negara yang berdaulat dan bermartabat dalam kehidupannya merasakan nasibnya jauh lebih buruk daripada saat-saat rakyat Indonesia dijajah oleh Belanda dahulu.
Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia