Menurut pasal 12 B, Undang-undang No.20 tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, secara tegas diterangkan bahwa “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya…” ;
Gratifikasi dalam penjelasan pasal 12 B tersebut diartikan merupakan “pemberian” dalam arti luas meliputi : pemberian uang, barang, discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang berhubungan dengan jabatan seorang Pegawai Negeri sipil. dan Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, semua pemberian tersebut dapat diancam dengan pidana “suap”.
Bahwa gratifikasi yang dilakukan jika ada hubungannya dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau penjara paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.juta rupiah, dan paling banyak Rp.1 Milyard rupiah.
Berdasarkan batasan gratifikasi di atas, hampir dapat dipastikan semua Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara di negeri ini telah melakukan dan/atau menerima “SUAP” selama ia melakukan tugas sebagai pelayanan publik. Namun menurut hemat saya tidak semua “Gratifikasi” dapat memenuhi unsur dapat diancam pidana sebagaimana disebut di atas. Sepanjang “gratifikasi” tersebut terjadi tidak bertentangan atau berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, sekalipun “gratifikasi” tersebut berhubungan dengan jabatannya baik sebagai Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara, gratifikasi tersebut tidak memenuhi unsur dapat diancam dengan pidana. Karena unsur “berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya” adalah merupakan unsur yang integral atau satu kesatuan unsur yangtidak dapat dipisahkan. Misalnya seorang hakim dalam memutus suatu perkara yang dilakukannya secara obyektif yaitu sesuai dengan fakta hukum/alasan hukum dan sesuai dengan keyakinan dan rasa keadilannya, kemudian terhadap putusan tersebut ada pihak yang bersimpati dengan memberikan “gratifikasi”, maka hakim tersebut tidaklah dapat dikatakan telah menerima “suap”. Misalnya lagi pada saat lebaran sekarang ini, budaya pemberian parsel kepada seorang pejabat atau pegawai negeri sering banyak dilakukan. Parsel tersebut diberikan seseorang boleh jadi ada hubungannya dengan pekerjaan penyelenggara negara atau pegawai negeri bersangkutan, namun tidak automatis pemberian parsel tersebut selalu harus ditafsirkan ada unsur berlawanan dengan tugas dan kewajibannya. Jadi kata kunci pemberian suap dalam pengertian “gratifikasi” adalah jika gratifikasi itu terjadi yang bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya selaku pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara.
Ancaman pidana suap dalam gratifikasi, memang sangat diperlukan karena tidak sedikit pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang menerima janji atau menawarkan janji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugas yang seharus dilakukannya sebagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. Namun mengingat budaya kita yang senang mewujudkan rasa syukur dengan “memberi” karena merasa “tertolong” (baca: bukan karena telah ditolong), kemudian ia memberikan sesuatu kepada pegawai/pejabat bersangkutan, dimana pemberian itu tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi pegawai negeri bersangkutan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya atau tugasnya, maka pegawai tersebut tidak dapat disebut telah menerima “gratifikasi” menurut UU tentang SUAP.
Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia