MIRANDA RULE adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka / terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan/atau dalam semua tingkat proses peradilan.
Di sini perlu kami sampaikan sedikit riwayat tentang asli dari “Miranda Rule” dari sumber asalnya sebagai berikut :
Istilah Miranda Rules sebenarnya adalah suatu prinsip hukum acara pidana di Amerika Serikat yang berasal dari kasus Miranda vs Arizona tahun 1966 yang akhirnya memunculkan Amandemen Kelima Bill of Rights:
“No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger, nor shall any person be subject for the same offence to be twice put in jeopardy of life or limb, nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law, nor shall private property be taken for public use, without just compensation.”
Terjemahan bebasnya adalah:
Tiada seorangpun diharuskan menjawab untuk suatu tindak pidana umum atau tindak pidana yang belum dikenal, tanpa penjelasan atau penggambaran dakwaan dari Juri, kecuali untuk kasus yang timbul di Angkatan Darat atau Angkatan laut, atau di dalam Milisi, ketika sedang bertugas dalam perang atau bahaya umum; juga tidak seorangpun menjadi terdakwa dan didakwa dua kali untuk kasus yang sama sehingga membahayakan hidupnya, juga tidak akan dipaksa dalam setiap kasus pidana untuk menjadi saksi melawan dirinya sendiri, juga tidak akan dikurangi kehidupan, kebebasan, atau harta bendanya, tanpa proses hukum; juga kepemilikan pribadi tidak akan diambil untuk kepentingan umum, tanpa kompensasi yang adil.
Bentuk nyata dari penerapan Miranda Rules adalah Miranda Warning yang minimal harus diberikan oleh polisi ketika menangkap tersangka dan sebelum dilakukan interogasi. Umumnya Polisi akan berkata:
You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.
Artinya adalah :
(Kamu memiliki hak untuk diam. Apapun yang kamu katakan dapat dan akan digunakan untuk melawanmu di pengadilan. Kamu memiliki hak untuk bicara kepada penasehat hukum dan dihadiri penasehat hukum selama interogasi. Apabila kamu tidak mampu menyewa penasehat hukum, maka akan disediakan satu untukmu yang ditanggung oleh Pemerintah.)
Namun di Indonesia ada beberapa prinsip Miranda Rule, Miranda Warning atau Miranda Principle yang diakomodir di dalam UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, maka istilah Miranda Rule menjadi ikut populer di dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
MIRANDA RULE adalah merupakan hak konstitusional yang bersifat universal dihampir semua negara yang berdasarkan hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya sangat menghormati MIRANDA RULE ini. Komitmennya terhadap penghormatan MIRANDA RULE telah dibuktikan dengan mengadopsi MIRANDA RULE ini ke dalam system Hukum Acara Pidana kita yaitu sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP.
Secara umum prinsip Miranda Rule (miranda principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada di dalam BAB VI UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip miranda rule atau miranda principle terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sbb : “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka”
Perlu diketahui bahwa yang ingin dicapai dan/atau ditegakkan di dalam prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) tentang KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka / Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi , membela hak-hak hukum bagi tersangka atau terdakwa sejak dari proses penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman yang dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia ( vide : pasal 33, pasal 3 ayat (2), pasal 5 ayat (2), pasal 17, pasal 18 ayat (1) dari UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ] di samping itu adanya kontrol oleh Penasihat Hukum terhadap jalannya pemeriksaan tersangka selama dalam proses persidangan di pengadilan. Berdasarkan uraian dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Dalam tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada Tersangka / Terdakwa harus diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas) tahun atau lebih atau yang tidak mampu di-ancam dengan pidana 5 ( lima ) tahun atau lebih yang tidak punya Penasihat Hukum sendiri, Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka (tersangka/terdakwa) ;
- Pemeriksaan penyidikan yang tersangkanya tidak didampingi Penasihat Hukum sesuai dengan kerangka pasal 114 Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka hasil pemerik-saan penyidikan tersebut adalah tidak sah atau batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum acara ( undue process ) ;
Berdasarkan pasal 56 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 365 (4) KUHP, bila dikaitkan dengan berita KR tanggal 10 Agustus 2007 pada halaman “Hukum & Kriminal” dengan judul “Terdakwa Minta Didampingi Pengacara, Tembak Korban, Jambret Diadili”. Dalam kasus ini Majelis Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta sebelum memeriksa perkara terdakwa lebih lanjut, harus terlebih dahulu mencarikan atau menunjuk Pengacara/Advokat sebagai Penasihat Hukum bagi Terdakwa di dalam pemeriksaan perkara tersebut, apalagi Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaannya menjerat terdakwa dengan pasal 365 ayat (4) KUHP dengan ancaman pidana mati.
Dan kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi terdakwa tidak bisa ditawar-tawar karena bersifat imperatif, dan tidak harus menunggu atau bergantung pada inisiatif pihak keluarga terdakwa yang mencarikan Penasihat Hukum bagi terdakwa.
Sudah saatnya semua pejabat penegak hukum dalam semua tingkat proses peradilan pidana di negeri ini harus menghormati UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya tentang Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP.Semoga.
Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia