Jangan pilih Poltisi busuk, Partai Politik busuk, Pejabat busuk, Aktivis busuk, dan dengan sederetan predikat “busuk” lainnya yang menjadi yel-yel menjelang pemilu khususnya pada pesta demokrasi tahun 2004 tahun ini. Adanya suatu perubahan yang krusial dalam system pemilu tahun ini dan perubahan prilaku serta strategi politik tahun 2004 membuat pemilu kali ini menjadi lain dari pemilu sebelumnya. Pemilu kali ini bukan hanya memilih para wakil rakyat saja akan tetapi sekaligus memilih calon presiden dan calon wakil presiden.
Tidak heran pemilu 2004 kali ini banyak ditenggarai munculnya yel-yel dengan “kata busuk” sebagaimana disebutkan pada permulaan tulisan ini. Yel-yel tersebut haruslah dipandang sebagai suatu dinamika tersendiri yang merupakan anti-thesa dari kenyataan yang ada yang muncul dalam suatu bentuk gerakan moral masyarakat yang telah muak dan jenuh sekaligus menentang terhadap system politik, budaya prilaku politik dan prilaku hukum para elite politik yang ada selama ini baik itu yang ada di dalam inprastruktur maupun di dalam suprastruktur system pemerintahan Indonesia yang menganut system trias-politika model devition of power (pembagian kekeuasaan) yang dinilai oleh kalangan reformis system dan prilaku tersebut telah “busuk” sehingga secara politis haruslah dibuang untuk tidak dipakai lagi. Fenomena yang disebut dan dinilai “busuk” tersebut agaknya telah menjadi budaya sikap dan “prilaku para politisi” yang dinilai telah begitu bias dan/atau menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi acuan apalagi Pancasila merupakan nilai-nilai budaya adiluhung bangsa ini.
Pancasila yang telah ditetapkan sebagai Ideologi negara republik Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus juga sebagai sumber dari segala tertib hukum Indonesia pada kenyataannya nilai yang terkandung dalam Pancasila ini tidak teraktualisasi untuk dijadikan sebagai parameter sentral guna mengkoreksi bias prilaku kebangsaan masyarakat kita dewasa ini. Bahkan sadar atau tidak sadar posisinya telah berganti dengan nilai-nilai yang bersifat primordialisme sempit dimana masyarakat cenderung mengambil parameter kebangsaan dari nilai-nilai kesukuan, keagamaan, rasial dan antar golongan. Celakanya lagi logika hukum positip gagal untuk menjelaskan fenomena sekarang ini, dimana orang-orang telah kehilangan rasa bersalah, rasa malu dan rasa takut untuk melakukan prilaku yang tidak benar. Dan dalam konteks ini pula nilai-nilai demokrasi dalam system pemerintahan negara kita telah diartikan secara beragam dan sempit sehingga prilaku masyarakat yang mengarah pada standard pemahaman demokrasi baik secara definisi konsep maupun secara definisi operasi tidak ditemukan di negara ini.
Seperti kita ketahui secara definisi konsep pengertian demokrasi dapat dirumuskan sebagai suatu proses penyelenggaraan kekuasaan negara yang dilakukan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, sedang secara definisi operasi pengertian demokrasi lebih diartikan pada bagaimana dapat bekerjanya elemen-elemen demokrasi dengan baik dalam bentuk berjalannya partisipasi politik masyarakat, berfungsinya perananan DPR, MPR serta berjalannya PEMILU dengan baik. Sebuah negara dapat dikatakan demokratis jika di sana dapat dilihat adanya penghormatan prilaku masyarakat terhadap hukum, kemampuan mengendalikan sikap terhadap terjadinya perbedaan pendapat di dalam rapat permusyawaratan serta dapat menerima perbedaan dalam semua dimensi yang ada sekaligus merupakan bagian yang diperlukan bagi dinamika hidup yang harus dipertahankan dalam paham kebangsaan yang pluralis serta adanya penghormatan prilaku masyarakat dalam proses system pemerintahan saat pemilu itu diselenggarakan.
Berkaitan dengan yel-yel jangan pilih yang busuk-busuk dalam pemilu 2004, keberadaan yel-yel ini jangan disikapi secara emosional namun haruslah dipandang dan disikapi secara dewasa sebagai dinamika perkembangan perpolitikan demokrasi Indonesia. Dan di samping itu yel-yel “busuk” tersebut dapat pula dijadikan masukan dan koreksi bagi diri kita masing-masing yang diharapkan dapat melahirkan nuasa baru bagi perbaikan kehidupan kita sebagai suatu bangsa. Adanya yel-yel “busuk” tidak harus membuat kita terburu-buru menggunakan parameter hukum untuk memberantas gerakan moral semacam ini. Sebaliknya bagi gerakan moral yang menggunakan yel-yel “busuk” sebagai salah satu gerakan moral dalam memainkan strategi politiknya untuk memenangkan partai-partai tertentu dalam pemilu 2004.
Pengguna yel-yel “busuk” tersebut jangan terburu-buru untuk menentukan dan mengumumkan siapa-siapa saja yang dikualifikasikan sebagai politisi busuk agar tidak menjadi bomerang di kemudian hari sehingga menjadi kontra produktif dari tujuannya. Dalam kontek “busuk” ini sebaiknya cukup ditujukan kepada para politisi atau pejabat busuk saja. Yel-yel tersebut jangan digeneralisir sehingga merembes kepada pemberian stigmatisasi terhadap partai-partai politik tertentu yang tidak disenangi atau LSM-LSM tertentu yang tidak disenangi, dengan sebutan atau yel-yel Partai Politik busuk, LSM busuk. Karena harus disadari bahwa yang namanya partai atau LSM hanyalah merupakan wadah belaka yang bersifat institusional, wadah itu bisa diisi oleh siapa saja, termasuk anda sebagai politisi harum atau mereka sebagai politisi busuk.
Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia